Kesalahpahaman dalam memahami makna-makna kata yang terkandung dalam al-Qur’an dan hadits akan menyebabkan interpretasi suatu ayat atau hadits mengalami kekeliruan yang fatal. Dewasa ini, banyak para da’i yang menyampaikan persoalan agama secara serampangan, baik itu berupa ayat-ayat al-Qur’an maupun hadits. Mereka menafsirkan ayat atau hadits tersebut tidak menggunakan ilmu alat, sehingga mengakibatkan kesalahpahaman yang fatal. Hal ini terjadi dikarenakan para elite agama tersebut tidak menguasai ilmu alat.
Kebanyakan di antara mereka hanya pandai menyampaikan saja, padahal sesungguhnya apa yang disampaikannya itu adalah sebuah kesalahan dan menyesatkan banyak orang. Oleh karena itu, sudah seharusnya para ustadz menguasai ilmu alat sebagai ilmu dasar yang digunakan untuk memahami teks berbahasa Arab. Tak hanya itu, keterbatasan para ustadz dalam mengakses ayat-ayat al-Qur’an karena kurang dalam hafalannya, menyebabkan para ustadz hanya memiliki sedikit sekali referensi pola dan kosakata dalam al-Qur’an. Padahal, jika para ustadz mampu untuk menghafal 30 juz al-Qur’an dan mengetahui maknanya secara benar, maka itu sudah cukup sebagai bekal untuk menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an atau hadits.
Permasalahan Semantik
Salah satu hadits yang makna katanya sangat sering disalahpahami adalah hadits tentang “agama adalah nasehat” yang diriwayatkan dari Tamim ad-Dari, bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Agama adalah nasehat.” Para sahabat bertanya, “Untuk siapa wahai Rasulullah?” beliau menjawab: “Untuk Allah, kitab-Nya, Rasul-Nya, dan untuk para pemimpin kaum muslimin serta kalangan umum mereka.” (HR. Abu Dawud dan Imam an-Nasa’i)
Kesalahpahaman dalam memaknai kata ini sudah terjadi secara turun temurun, sehingga cuplikan hadits tersebut tidak asing lagi di telinga kita. Di dalam al-Qur’an, kata nasihat yang berasal dari kata nasoha-yansohu, setidaknya, memiliki dua makna, yaitu nasihat dan komitmen. Kata nasoha yang mempunyai arti nasihat terdapat pada Surat al-A’raf ayat 68. Ayat tersebut menceritakan kisah Nabi Hud yang sedang mendakwahi kaumnya, yaitu kaum Ad. Nabi Hud berkata kepada kaumnya, “Aku telah menyampaikan risalah-risalah Tuhan ku kepada kalian, dan aku adalah orang yang menasihati dan terpercaya bagi kalian.”
Dalam ayat tadi, kata nasoha lebih tepat diartikan sebagai nasihat daripada komitmen, karena menurut KBBI, nasihat juga berarti peringatan. Dan dalam konteks tersebut, Nabi Hud sedang memberi peringatan kepada kaummnya yang ingkar. Maka tepat apabila kata nasoha diartikan dengan nasihat.
Sedangkan kata nasoha yang mempunyai arti komitmen terdapat pada Surat at-Taubah ayat 91 yang berbunyi,
“Tidak ada dosa (karena tidak pergi berperang) atas orang-orang yang lemah, orang yang sakit, dan orang-orang yang tidak memperoleh apa yang mereka infakkan, apabila mereka berlaku ikhlas kepada Allah dan Rasul-Nya. Tidak ada alasan apapun untuk menyalahkan orang-orang yang berbuat baik. Dan Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang.”
Di dalam al-Qur’an terjemah versi Kemenag, kata nasoha di ayat tersebut diartikan sebagai berlaku ikhlas dalam konteks ikhlas kepada Allah dan rasul-Nya. Makna kata ikhlas dalam bahasa al-Qur’an berbeda dengan makna kata ikhlas yang sering digunakan sehari-sehari oleh orang Indonesia. Kata ikhlas yang sering digunakan oleh orang Indonesia adalah kata ikhlas yang mempunyai makna merelakan, melepaskan, membiarkan dengan cuma-cuma. Sedangkan dalam al-Qur’an, kata ikhlas berarti memurnikan. Maka dari itu, surat al-Ikhlas tidak membahas tentang kerelaan, akan tetapi tentang pemurnian tauhid, bahwa Allah adalah satu-satunya Tuhan dan Pencipta. Berlaku ikhlas yang dimaksud ayat tersebut adalah berkomitmen kepada Allah dan rasul-Nya. Memang, jika dalam konteks hadits ini, kata an-nasihatu diartikan dengan nasihat terlihat seperti cocok-cocok saja. Padahal, sesungguhnya itu tidak pas dan terkesan sangat memaksakan. Yang tepat adalah jika kata nasoha diartikan dengan komitmen, bukan nasehat.
Komitmen Kepada Allah
“Agama adalah komitmen,” kata Rasulullah. Lalu para sahabat bertanya, “Kepada siapa, wahai Rasulullah?” Rasulullah menjawab, “Kepada Allah, rasul-Nya, kitab-Nya, para pemimpin umat Islam, dan orang-orang umum mereka.” Begitu kira-kira cuplikan hadits tersebut.
Pada dasarnya segala sesuatu yamg diciptakan itu memiliki pencipta. Sama halnya alam semesta, pasti memiliki penciptanya, karena mustahil keberadaan sesuatu muncul begitu saja dengan tiba-tiba. Pun kita sebagai manusia yang hidup dalam alam semesta pasti memiliki pencipta. Dalam hal ini, Allah sebagai sang Kholik atau yang menciptakan alam semesta. Dalam dogma seluruh agama, dzat yang menciptakan alam semesta disebut sebagai tuhan. Dogma dalam agama Nasrani percaya bahwa Allah adalah sebagai tuhan pencipta alam semesta. Tak jauh berbeda dengan dogma dalam agama Islam. Al-Qur’an yang dipercaya sebagai kitab yang diturunkan terkhusus untuk orang beriman menjelaskan bahwa Allah sebagai tuhan juga yang menciptakan alam semesta beserta isinya. Dogma al-Qur’an mengatakan bahwa seluruh manusia itu percaya akan keberadaan tuhan, bahkan dalam ayat yang lain dijelaskan bahwa mereka telah mendeklarasikan Allah sebagai pencipta alam semesta adalah Tuhan mereka. Namun, banyak diantara manusia justru malah menjadikan sekutu bagi Tuhan atau bahkan menutupi dirinya dengan anggapan bahwa Tuhan itu tidak ada.
Oleh: Muhammad Nabil Muallif (Mahasiswa Ilmu Al-Qur'an dan Tafsir UIN Walisongo Semarang