Kritik Tapi Santun Itu Mitos?


 


Isu tentang ruang kebebasan berpendapat di lingkungan mahasiswa kembali menjadi sorotan. Di tengah maraknya diskusi-diskusi publik yang digelar di kampus, muncul pertanyaan reflektif yang menyentil logika idealisme mahasiswa: Apakah mungkin menjadi kritis sekaligus santun di zaman seperti sekarang? Pertanyaan ini menjadi perbincangan hangat dan bahkan memicu perdebatan di sejumlah forum kemahasiswaan UIN Walisongo Semarang.

Belakangan, kritik yang disampaikan mahasiswa sering kali disalahartikan sebagai sikap konfrontatif. Sebaliknya, kritik yang disampaikan dengan bahasa yang halus dan sopan justru cenderung diabaikan. Fenomena ini menciptakan kebingungan di kalangan mahasiswa tentang cara menyuarakan kebenaran secara efektif tanpa kehilangan etika.

Di satu sisi, mahasiswa dituntut untuk menjaga kesantunan sebagai bagian dari nilai akademik dan budaya kampus. Namun di sisi lain, banyak yang merasa bahwa suara mahasiswa baru akan didengar apabila disampaikan dengan tekanan yang lebih kuat. Ruang aspirasi yang terbuka tidak selalu menjamin kritik diterima, terlebih jika sistem yang dihadapi lebih reaktif terhadap gaya bicara daripada substansi isi.

Hal ini menciptakan dilema. Mahasiswa dituntut untuk tetap kritis, namun jika mereka menyampaikan kritik secara lugas dan tegas, sering kali dianggap melanggar etika. Sementara itu, jika memilih untuk bersuara dengan tenang dan sopan, aspirasi tersebut dianggap kurang mendesak dan tidak mendapat respons yang signifikan.

Dalam konteks ini, menjadi kritis tidak berarti kehilangan etika, dan menjaga kesantunan bukan berarti kehilangan kekuatan gagasan. Mahasiswa sebagai bagian dari masyarakat intelektual perlu terus mengasah kemampuan untuk menyeimbangkan keduanya. Namun, faktanya tidak bisa diabaikan bahwa kritik santun sering kali hanya menjadi hiasan semata dalam demokrasi yang katanya terbuka. Banyak mahasiswa akhirnya mempertanyakan: Apakah benar kritik yang santun masih punya tempat, atau itu hanya mitos yang terus dilanggengkan untuk meredam semangat perubahan?

Penulis: Lulu Aprilia Agusti

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama